Maaf..untuk luka yang ku goreskan, yang mungkin sudah terlalu dalam untuk dapat sembuh kembali.
Tak ada yang mampu ku lakukan lagi, karena aku yang melukai…aku yang menikam.
Kau bisa menangis, mencaci, memarahii, membanting pintu dan pergi…tak kembali.
Seharusnya tak kubiarkan cahaya lain masuk ke ruang-ruang hati.ku yang gelap…yang mengisi serpihan rapuh di rongga itu…mungkin saat itu aku lupa ada cahaya terang di dalam sana, menyinari setiap sudut di hati. Entah setan dari mana yang mengisi rongga kosong yang gelap, member jalan pelita lain menuju ruang tersembunyi…mengisi celah yang remang-remang. Terlambat ku menyadari.
Hanya ada satu cahaya untuk satu hati.
Aku curang, menerangi hati dengan dua pelita. Dan kini pelita yang paling terang itu pergii, hati sayup…nyaris gelap.
Dan cahaya terang itu takkan kembali lagi.
Tak bisa ku tampakkan senyum atau raut muram ku di depannya…aku terlalu sibuk menebak apa yang sedang ia rasakan, apa yang ada di pikrannya…aku terlalu merasa salah, menikamnya terlalu dalam.
Keegoisan ini, yang tak bisa menunjukkan tetesan air mata di depannya…tak bisa meraih tangannya dan memohon jangan pergi. Keegoisan ini yang menahan untuk memeluknya hangat sekadar menenangkan hatinya yang luka…keegoisan ini yang tak mampu menghalangi langkahnya menutup pintu dan menguncinya rapat.
Seharusnya ku tak menangis, di cerita ini aku yang bahagia, aku antagonis…seharusnya ku tertawa. Tidak akan.
Haruskah ku tersenyum saat pelita yang selalu mendekapku hangat, terjatuh di depanku???
Haruskah ku tertawa saat cahaya yang selalu menerangi jalan.ku tertiup angin dan menggelapkan mataku???
Haruskah ku bahagia saat pandu.ku hilang tersesat, terluka dan tertikam olehku sendiri???
Aku takut, pelita itu takkan kembali dan redup di luar sana…
Aku takut pelita itu tak mau member secercah sinarnya lagi ke dalam celah hatii yang masih merindukannya.
Hanya empat huruf yang ku ingin dia mendengarnya terus dari.ku
MAAF